Hawa dingin menembus kulit telapak
tanganku. Suatu hal bodoh tak membawa sarung tangan di tempat sedingin ini.
Mataku memandang luas ke depan, takjub,
hingga terbius seakan ikut tertarik menuju kepulan asap Bromo. Sebuah tangan kekar
menarik lenganku. Kulitnya mulai dihiasi garis-garis halus penanda usianya.
Ayahku!
“Sini, jangan dekat-dekat kawahnya!”
titahnya
Aku mundur sedikit, berada di
pelukan ayah. Tanganku yang melingkar di perutnya membuatku merasakan perutnya
yang buncit. Aku beralih menatap pemandangan menakjubkan di hadapanku lagi,
lalu menoleh ke belakang menatap hamparan pasir luas nan indah. Sungguh
keajaiban yang Tuhan karuniakan pada tanah ini. Aku mendongak. Merasakan
kehangatan yang tercipta saat ini, masih di pelukan ayahku.
“Aku
sayang ayah…” ini adalah kata yang keluar tiap aku menghembuskan napas. Berulang
kali dan selamanya.
Aku
melirik gantungan kunci yang menggantung di tasku kini. Sebuah gantungan kunci
terbuat dari perak berupa logo Moto Gp. Aku tersenyum tipis mengingatnya.
7
Agustus 2007, bukan tanggal istimewa memang. Tapi hari itu pertama kalinya ayah
mengenalkan padaku apa itu balap motor yang begitu mengesankan. Dunia Moto Gp,
pertarungan penuh taruh nyawa, berisi para raja balap menunggangi motornya
secepat angin. Membangkitkan listrik terbesar dalam jantungku untuk memompa
darah lebih cepat. Aku bahagia bisa mengenal dan mengidolakan para manusia
tercepat di lintasan itu, sama seperti ayah.
Kami
menjadi duo terheboh di rumah tiap menyaksikan pertarungan sengit itu, meski
banyak orang bilang yang kami lihat hanyalah motor yang tak hentinya
meliak-liuk di lintasan. Membosankan katanya.
“Apa
sih bagusnya balapan? Cuma lihat motor belok..” celetuk temanku.
Tapi
aku mengacuhkannya, bahkan tak segan aku meminta ayah membangunkanku bila acara
faforit kami itu tayang dini hari. Aku merindukan saat-saat itu, tertidur di
pangkuan ayah saat daya mataku hanya bersisa lima watt. Memakan segala yang
bisa kami makan di malam hari. Itu asik!
“Ayah..
aku suka!” Aku dibuat berteriak girang ketika ayah pulang membawakanku buku
tentang sejarah hidup idolaku. Juga hadirnya gantungan manis yang kugenggam
saat ini.
Ayah
hanya menyunggingkan senyum khas di bibirnya yang sedikit tertutup oleh kumis.
Selepas
lamunanku lenyap, aku melepas tanganku yang melingkar di perut ayah. Aku
menyentuh lengan ayah yang terkilir karena jatuh dari kuda tadi.
“Tangan
ayah gimana?” tanyaku pelan
“Nggak
apa-apa, nanti juga sembuh..”
Aku
memeluk ayah lagi. Kali ini lebih erat! Ayahku, sosok yang rela sakit demi
kebahagian keluarganya. Ya. Demi mama, aku, dan adikku ayah rela bekerja keras
di tempat jauh, menguras tenaga dan pikirannya serta bertahan memikul beban
berat seorang diri. Melarang keras kami untuk sekedar membantu mengurangi beban
beratnya. Bahkan terluka seperti ini, ayah selalu berkata tidak apa-apa. Semua
itu demi kami, orang-orang yang terlalu dicintainya.
Aku
mengidolakan ayah, panutan hidupku juga segalanya bagiku. Dan keajaiban bagiku
bukanlah lautan pasir luas yang sedari tadi memanjakan mataku itu, tapi keajaiban
hidupku adalah ayahku. Seorang makhluk yang membesarkan titipan-Nya dengan cara
yang selalu kuingat, mendidik putra-putrinya dengan cara yang sangat istimewa.