Selasa, 18 November 2014

BUKAN LAUTAN PASIR ITU



            Hawa dingin menembus kulit telapak tanganku. Suatu hal bodoh tak membawa sarung tangan di tempat sedingin ini. Mataku memandang  luas ke depan, takjub, hingga terbius seakan ikut tertarik menuju kepulan asap Bromo. Sebuah tangan kekar menarik lenganku. Kulitnya mulai dihiasi garis-garis halus penanda usianya. Ayahku!
            “Sini, jangan dekat-dekat kawahnya!” titahnya
            Aku mundur sedikit, berada di pelukan ayah. Tanganku yang melingkar di perutnya membuatku merasakan perutnya yang buncit. Aku beralih menatap pemandangan menakjubkan di hadapanku lagi, lalu menoleh ke belakang menatap hamparan pasir luas nan indah. Sungguh keajaiban yang Tuhan karuniakan pada tanah ini. Aku mendongak. Merasakan kehangatan yang tercipta saat ini, masih di pelukan ayahku.
“Aku sayang ayah…” ini adalah kata yang keluar tiap aku menghembuskan napas. Berulang kali dan selamanya.
Aku melirik gantungan kunci yang menggantung di tasku kini. Sebuah gantungan kunci terbuat dari perak berupa logo Moto Gp. Aku tersenyum tipis mengingatnya.
7 Agustus 2007, bukan tanggal istimewa memang. Tapi hari itu pertama kalinya ayah mengenalkan padaku apa itu balap motor yang begitu mengesankan. Dunia Moto Gp, pertarungan penuh taruh nyawa, berisi para raja balap menunggangi motornya secepat angin. Membangkitkan listrik terbesar dalam jantungku untuk memompa darah lebih cepat. Aku bahagia bisa mengenal dan mengidolakan para manusia tercepat di lintasan itu, sama seperti ayah.
Kami menjadi duo terheboh di rumah tiap menyaksikan pertarungan sengit itu, meski banyak orang bilang yang kami lihat hanyalah motor yang tak hentinya meliak-liuk di lintasan. Membosankan katanya.
“Apa sih bagusnya balapan? Cuma lihat motor belok..” celetuk temanku.
Tapi aku mengacuhkannya, bahkan tak segan aku meminta ayah membangunkanku bila acara faforit kami itu tayang dini hari. Aku merindukan saat-saat itu, tertidur di pangkuan ayah saat daya mataku hanya bersisa lima watt. Memakan segala yang bisa kami makan di malam hari. Itu asik!
“Ayah.. aku suka!” Aku dibuat berteriak girang ketika ayah pulang membawakanku buku tentang sejarah hidup idolaku. Juga hadirnya gantungan manis yang kugenggam saat ini.
Ayah hanya menyunggingkan senyum khas di bibirnya yang sedikit tertutup oleh kumis.
Selepas lamunanku lenyap, aku melepas tanganku yang melingkar di perut ayah. Aku menyentuh lengan ayah yang terkilir karena jatuh dari kuda tadi.
“Tangan ayah gimana?” tanyaku pelan
“Nggak apa-apa, nanti juga sembuh..”
Aku memeluk ayah lagi. Kali ini lebih erat! Ayahku, sosok yang rela sakit demi kebahagian keluarganya. Ya. Demi mama, aku, dan adikku ayah rela bekerja keras di tempat jauh, menguras tenaga dan pikirannya serta bertahan memikul beban berat seorang diri. Melarang keras kami untuk sekedar membantu mengurangi beban beratnya. Bahkan terluka seperti ini, ayah selalu berkata tidak apa-apa. Semua itu demi kami, orang-orang yang terlalu dicintainya.
Aku mengidolakan ayah, panutan hidupku juga segalanya bagiku. Dan keajaiban bagiku bukanlah lautan pasir luas yang sedari tadi memanjakan mataku itu, tapi keajaiban hidupku adalah ayahku. Seorang makhluk yang membesarkan titipan-Nya dengan cara yang selalu kuingat, mendidik putra-putrinya dengan cara yang sangat istimewa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar