KOTAK
DAN SEJUTA SINYALNYA
Bagi
sebagian orang, merenung sama halnya dengan melamun. Aku tidak termasuk
orang-orang itu. Aku sedang merenung sekarang, tapi bukan melamun. Aku bukan tipe
orang suka melamun, mungkin perlu kutekankan itu. Kini aku sedang duduk di
lantai kamarku, punggungku ditopang oleh dinding bercat putih, awalnya… karena
yang kulihat sekarang warnanya sudah tak tampak putih bersih lagi..
Tanganku
menyentuh gembok yang mengunci kotak bludru di pangkuanku. Kotak berwarna merah marun dihiasi sulaman
bunga-bunga indah. Kuncinya masih sama, baru saja kudapat dari hasil ekspedisi
di lemari pakaianku. Tak butuh waktu lama, gembok itu terlepas. Kubuka kotak
itu perlahan. Isinya memang tak bergerak, tak ubahnya benda diam yang hanya
bisa menanti untuk diambil dan dilihat. Namun jutaan sinyal dari benda-benda
itu meluncur cepat ke otakku. Membuka semua kotak-kotak memori yang awalnya
telah terkunci. Mengeluarkan seluruh bubuk-bubuk ajaib yang langsung melukiskan
gambar-gambar yang pernah kulewati.
Kuambil
salah satunya, sebuah gantungan kunci terbuat dari perak berupa logo Moto Gp.
Aku tersenyum tipis mengingatnya.
7 Agustus 2007, bukan tanggal
istimewa memang. Tapi hari itu pertama kalinya ayah mengenalkan padaku apa itu
balap motor yang begitu mengesankan. Dunia Moto Gp, pertarungan penuh taruh
nyawa, berisi para raja balap menunggangi motornya secepat angin. Membangkitkan
listrik terbesar dalam jantungku untuk memompa darah lebih cepat. Aku bahagia
bisa mengenal dan mengidolakan para manusia tercepat di lintasan itu, sama
seperti ayah.
Kami menjadi duo terheboh di rumah
tiap menyaksikan pertarungan sengit itu, meski banyak orang bilang yang kami
lihat hanyalah motor yang tak hentinya meliak-liuk di lintasan. Membosankan
katanya.
“Apa sih bagusnya balapan? Cuma
lihat motor belok..” celetuk temanku.
Tapi aku mengacuhkannya, bahkan tak
segan aku meminta ayah membangunkanku bila acara faforit kami itu tayang dini hari.
Aku merindukan saat-saat itu, tertidur di pangkuan ayah saat daya mataku hanya bersisa
lima watt. Memakan segala yang bisa kami makan di malam hari. Itu asik! Kumerindukannya,
sungguh!
“Ayah.. aku suka!” Aku dibuat berteriak girang
ketika ayah pulang membawakanku buku tentang sejarah hidup idolaku. Juga
hadirnya gantungan manis yang kugenggam saat ini.
Ayah hanya menyunggingkan senyum khas
di bibirnya yang sedikit tertutup oleh kumisnya.
Aku melanjutkan aksiku, kujamah
lebih dalam kotak itu. Kuambil foto di samping gantungan tadi. Di sudut kanan
bawah tertulis Ajeng, Ayu, Ayah. Tampak lautan biru di belakang kami. Adikku
kurangkul dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kanan kugunakan untuk berpose
standart dengan senyum merekah. Ayah tak mau kalah, tangannya merangkulku
sambil tersenyum sejuk.
Aku masih duduk di kelas 6 kala itu.
Hidup kami memang sederhana, namun bahagia. Hal yang belum tentu bisa dimiliki
semua orang.
“Ayu sayang ayah…” kata itu bagai
napas yang selalu keluar dari mulutku tiap waktu.
Terakhir, aku meraih buku catatan
kecil berwarna merah muda di tengah-tengah kotak itu. Kubuka lembaran-lembaran
itu sembarang. Aku menelan ludah getir, darahku berdesir, raut mukaku berubah.
Tak ada senyum lagi terlintas di wajahku, justru butiran bening yang menunggu
untuk keluar dari kurungan kelopak mataku.
23 Juli 2011. Tertulis tanggal di
sudut kanan atas halaman itu. Coretan tanganku amat tegas. Menyiratkan betapa
kecewa dan kacaunya hatiku saat menulisnya. Kerongkonganku makin tercekat
ketika aku memberanikan diri untuk membacanya.
Hari ini, apa ada hari yang lebih buruk
setelah ini?Aku Benci! Rasanya sakit.. Belum sempat aku memeluknya setelah
seminggu menunggu untuk bertemu. Tapi apa ini? Sama sekali bukan anganku… Ayah
pergi? Benar pergi? Tak kembali? Menemui Tuhan dan meninggalkanku? Kenapa?
Kenapa harus sekarang? Kenapa harus ayahku? Tak bisakah aku mencium dan memeluknya
serta mengantar kepergiannya saat malaikatMu menjemput? Tapi kenapa yang
terjadi justru ayah pulang tanpa nyawa.. Aku sakit… Mati rasa, batu ini
menghujamku terlalu keras hingga membunuh semua rasaku.
Aku menutupnya, lembaran kusam
penuh tinta itu. Aku menangis sejadinya, memeluk gambar ayahku. Hari-hari
bersama ayah begitu terekam kuat di benakku, tak pernah kuhapus. Hanya menunggu
waktunya untuk dimainkan seperti sekarang.
Satu per satu kenangan itu melayang
di pelupuk mataku bagai rekaman yang menggambarkan tiap kisah indahku bersama
ayah. Sungguh inginku kembali ke masa itu, tapi sungguh mustahil. Tak ada yang
bisa mengembalikan waktu. Secanggih apapun tekhnologi yang diciptakan manusia,
tak akan mampu mengirimku ke masa lalu. Tempat terjauh yang mustahil aku
mendarat di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar